Sabtu, 08 Februari 2020

Cerpen Memori Jembatan Bale

HUJAN sore tadi masih menyisakan genangan air  di jembatan Bale. Awan yang sedari pagi tadi berwarna hitam, kini tampak lebih cerah. Tak terasa telah dua hari aku berada di sini. Takengon, kampung halaman yang telah kutinggal pergi lebih dari lima belas tahun lamanya. Pemandangan Takengon telah banyak berubah. Perubahannya hampir merata disemua sektor. Baik sektor Pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan yang sangat menarik perhatianku adalah perubahan drastis pinggiran danau yang berada tepat di bawah jembatan tempatku berdiri saat ini.
Sembilan  Belas Tahun yang Lalu..
Jembatan itu adalah jembatan kebanggan kami, tempat kami beradu saing, siapakah yang memiliki laju terkuat dalam kompetensi terjun bebas secara adat ke Danau laut Tawar. Bermodal celana bola bekas yang dibagikan secara gratis oleh kepala desa saat bertanding bola antar kampung tahun lalu, kami mulai mengadu adrenalin. Tak hanya masalah laju siapa yang paling cepat.  Tapi, poin penilaian tertinggi  juga terletak pada siapakah yang paling banyak mengumpulkan koin yang dilemparkan bersamaan dengan peserta yang meloncat dari sisi pagar pengaman jembatan.
“suit.suit.”peluit alami ala Ucak membuat kami paham bahwa lomba melompat sekaligus  menyelam telah dimulai. Dengan cekatan para peserta yang terdiri atas aku, Junaidi, Iwan dan wen melompat indah dengan gaya alami masing-masing ke Danau Laut Tawar, tampak sekilas kilau koin yang tadi dilemparkan oleh Ucak menari-nari ke dasar Danau Laut Tawar yang jernih dan berwarna biru.
“Yes!!!.”Bathinku.
Hanya ‘yes dan no’ saja yang baru kupahami dari  Pelajaran asing yang baru saja diterapkan di kurikulum baru  sekolahku. Sembari mengamalkan petuah  Ibu Wardiani , guru bahasa inggris kami, agar sering-sering menggunakan kosa kata bahasa Inggris di mana pun berada  agar  lebih lancar, karena bahasa Inggris lain baca lain tulis. Alhasil sembari menyelam pun kutunaikan juga pesan guru ku itu.
Dua koin pecahan Rp 25 berhasil kuraih sebelum aku berenang kepermukaan guna menghirup oksigen yang telah berkurang di paru-paruku. Tampak Junaidi dan Iwan juga melakukan hal  yang sama. Tak berselang lama, kami kembali menyelami  dasar danau guna mencari koin-koin yang tersisa. Dua, tiga, empat kali ritual muncul  tenggelam ala putri duyung di film kartun kesayanganku.   Akhirnya kami berempat  berhasil mengumpulkan semua koin yang  tadi dilemparkan.
“Kau dapat berapa Genali?Iwan melirikku dengan penuh selidik.
“Delapan, Kau dapat berapa”
“Sembilan,  Junaidi dapat tujuh, dan Wen mendapat enam koin”
“Dan jumlah koin nya pas tiga puluh buah, dan pemenang kali ini adalah Iwan Gayo”Suara ucak memberi pengumuman.
“Beri tepuk tangan untuk Iwan.  prok..prok…” kata Jun sambil ikut pula bertepuk keras merayakan kemenangan Iwan untuk pertama kalinya.
Dan, seperti kebiasaaan kami setelah selesai berlaga. Kami akan berkumpul bersama guna menyimpan koin-koin pecahan Rp 25 di suatu tempat rahasia yang hanya kami berlima yang mengetahui. Karena sesuai hasil kesepakatan yang kami adakan di samping menasah PI  kampung Bale, beberapa bulan lalu. Diputuskan bahwa ke tiga puluh koin pecahan Rp 25 yang dipakai untuk bertanding tidak boleh diperjual belikan. Koin itu dijadikan sebagai aset tetap  di setiap pertandingan, pun pemainnya bisa bertambah atau berkurang. Siapapun boleh ikut bermain tanpa harus mengumpulkan lagi koin. Sungguh suatu hasil musyawarah yang sangat bijaksana, sehingga semua teman satu kampung maupun yang bukan dapat ikut bermain berbagi bahagia bersama-sama.
Setelah itu, Bakwan  kemul nek Kalsum menjadi jajanan andalan kami disaat perut kian gencar berdemontrasi minta diisi. Kata kemul  diadopsi dari bahasa Gayo, yang artinya genggam. Karena bakwan ini dicetak sebesar genggaman tangan nek Kalsum yang montok, Kemudian di celupkan langsung kedalam belanga. Maka terciptalah trend Bakwan Kemul yang  sangat terkenal seantreo kampung Hakim Bale Bujang  kala itu. Nek Kalsum sangat mengerti akan selera kami, sengaja ia menyisihkan adonan colet yang sedikit campuran cabenya agar pas dengan lidah kecil kami yang masih peka pada rasa pedas.
Setamat SMA kami berlima  berpisah. Aku melanjutkan sekolah menengah Atas di  Jakarta. Menemani abangku yang saat itu tengah kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Ibu Kota. Junaidi dan Iwan melanjutkan sekolah di Madrasa Aliyah Negeri sesuai harapan mereka, sedangkan Wen dan Ucak sama-sama masih duduk di kelas 3 SMP. Kabar terakhir yang kudengar, Junaidi telah menjadi guru di sebuah SMA di daerah pedalaman kampung Bintang dan dikaruniai seorang putra. Iwan menjadi seorang anggota Polri yang kini tengah bertugas di Aceh Tamiang, Wen menjadi toke kopi di Kabupaten tetangga, dan hanya Ucaklah yang masih menetap di kampung kami menemani orang tuanya.
Kepulanganku kali ini membuat hatiku miris, sedih dan kalut bercampur aduk bak adonan kue. Melihat danau tempat kami bermain semasa kecil dulu tak lagi ada. Kini danau yang jernih dan biru itu telah ‘didandani’  menjadi waduk besar yang akan di bangun PLTA yang kontruksinya di buat oleh orang Jepang. Jembatan megah, yang dulunya menjadi kebanggaan warga kampung Bale kini terlihat kian ringkih. Parasnya terlihat lebih tua dibandingkan umurnya sebenarnya karena tak adanya perawatan. Kini, kenyataan yang kutemui adalah besi-besi penyangga tubuhnya yang telah rapuh  itu pun satu persatu telah hilang. Sehingga membuatnya semakin kian menghawatirkan.
“Aku sungguh rindu suasana  dibawah jembatan Bale , akankah masih dapat kupandang Danau Laut Tawar yang masih tersisa di tengah sana jika aku kembali sepuluh atau dua  puluh tahun lagi?” Bathinku.”ah” mungkin masyarakat Gayo sekarang , masih belum mengerti akan peninggalan warisan untuk anak cucu yang sering tertulis di pinggir Danau. Sejatinya, perihal warisan bukanlah masalah rupiah semata. Tapi, Danau indah yang menjadi anugerah terindah bagi masyarakat Gayo ini, sepantasnya adalah warisan alam yang harus di jaga dan dilestarikan agar juga dapat dinikmati anak cucu ketika kita telah tiada nanti. “Ah, entahlah” pikirku. Kualihkan pandanganku pada segerombolan anak kecil yang bermain air di tepian danau yang kian mendakal. Mereka tampak bergembira bermain bersama. Tapi dapat kupastikan mereka akan lebih bergembira lagi bermain jika  keadaan Danau Laut Tawar masih seindah saat kutinggalkan lima belas tahun yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar